"Kedai 1001 Mimpi”, sebuah kisah non fiksi tentang kehidupan suka-duka sang penulis saat menjadi TKI di Arab nampaknya belum cukup memuaskan pembaca setia karya Vabyo. Baru-baru ini, “Kedai 1002 Mimpi” edar. Meski judulnya terdengar humoris, namun ternyata ada perbedaan yang cukup jauh antara kedua kisah non fiksi itu. Di “Kedai 1001 Mimpi” Vabyo sedang menggebu-gebu, sesekali menyampaikan rasanya dengan amarah, meski kerap terselip lelucon. Di "Kedai 1002 Mimpi" ia jauh berbeda. Vabyo 'bersikap lebih tenang' di buku ini. Mungkin karena waktu. Ada saat dimana seseorang perlu berkisah dengan emosinya, ada saat dimana makna yang perlu dicari. Sesuai pengartian angka "1002", "Kedai 1002 Mimpi" merupakan 'seri lanjutan' dari Kedai 1001 Mimpi. Apa yang terjadi dengan Vabyo setelah ia kembali dari Arab dan menulis Kedai 1001 Mimpi mungkin masih menjadi pertanyaan bagi pembaca setia tulisan Vabyo. Di buku ini, Vabyo menjawabnya. Bukan hanya tentang pengalaman buruk yang menimpanya akibat menulis "Kedai 1001 Mimpi", namun juga bisnis yang ia tekuni, profesi baru yang ia jalani sebagi pencipta lirik lagu, dan berbagai lika-liku hidup lainnya. Kemampuannya dalam berkarya perlahan membuahkan hasil. Meski seringkali ‘terpuruk’, dibayangi trauma, bahkan ancaman dari pihak-pihak yang tak setuju dengan apa yang ia tulis, namun selalu ada kebahagiaan di sela duka. Di buku ini, Vabyo mengambil peran yang sangat manusiawi. Bukan sebagai tokoh jagoan yang berlagak tegar dengan segala cobaan. Ia justru berkisah jujur dengan menunjukkan rasa lelah, bahkan terpuruk. Di tengah itu semua, ia masih tetap berdiri dengan prinsip “Dipuji atau dicaci akan berkarya sampai mati”. Buku ini memberikan kesan bahwa pembaca tidak dipaksa untuk bersimpati. Penulis murni hanya ingin mengisahkan. Nampaknya adalah gaya Vabyo untuk membuat pembacanya gembira. Beberapa tips traveling, resep makanan dan sepenggal artikel Blog menjadi bonus di halaman-halaman akhir.Di sela proses membaca, saya justru merasa di antara keterbukaan penulis, ada banyak hal yang tidak ia ungkapkan seutuhnya. Namun hal itu termaklumi. Karena tidak semua rasa menyakitkan mudah untuk diungkapkan dan dituliskan. Adanya ilustrasi yang terselip di antara tulisan sesungguhnya menarik. Tapi, sebagai pembaca yang agak bawel, saya rasa saya lebih nyaman dengan tulisan Vabyo tanpa ilustrasi. Pembaca bebas menafsir, tanpa perlu diarahkan kepada ‘kesan’ tertentu.Saya rasa buku ini tidak bisa begitu saja dipisahkan dari “Kedai 1001 Mimpi”. Untuk menangkap apa yang diceritakan Vabyo di “Kedai 1002 Mimpi”, kita setidaknya mesti mengerti kisah sebelumnya. Jika segalanya adalah masalah sudut pandang, mungkin tak akan menjadi sebuah sajian karya menarik jika bukan Vabyo yang mengalaminya. kurang nampol dari buku pertama. tapi masih bisa dinikmati.anyway, ada resep Saudi Champagne di buku ini. pengen nyobain! nama boleh champagne, tapi bukan miras. hehe..halaman-halaman terakhir itu ada beberapa artikel lepas. akhir dari kisah kedai 1002 mimpi sih sudah berakhir setelah Vabyo akhirnya melempar ponselnya. tapi bagian ini drama ngarang kayaknya ya? kan sayang! atau mungkin memang dia sudah tak kuat lagi menanggung beban itu semua. karena katanya ini kisah nyata, ya oke percaya aja. hahaha..
Do You like book Kedai 1002 Mimpi (2014)?
Seru. Ngeri.Yang bagian akhir tentang London-nya informatif banget.
—christie
Belum baca yang 1001... jadinya bingung deh..
—sunny
Biasa aja jika dibanding Kedai 1001 Mimpi.
—Taconinja
kurang seru kalo dibandingkan kedai 1001..
—adarmitu