Fateless..Yang namanya mati rasa memang tak pernah mengenal masa. Di masa perang, di masa damai, rasa tanpa rasa bisa hadir kapan saja tanpa mengenal waktu dan usia. Sejarah pun menjadi saksi mata. Di masa Perang Dunia II di Eropa, seorang remaja 15 tahun mengalaminya. George Kovas namanya. Ia tinggal di Budapest, Hungaria. Dan Imre Kertesz menuliskan kisahnya.Suatu hari George Kovas meminta izin pada gurunya di sekolah untuk meninggalkan kelas karena alasan yang pribadi sifatnya. Dia harus pulang untuk bertemu ayahnya untuk yang terakhir kalinya. Perpisahan, judulnya. Perpisahan selamanya karena sang ayah harus pergi ke kamp konsentrasi Nazi. Manusia sesungguhnya tak pernah minta dilahirkan sebagai apa, kapan, dan di mana. Tapi di masa PD II menjadi bangsa Yahudi adalah sebuah kesalahan sejarah. Begitulah menurut rezim Hitler dengan partai Nazi-nya di Jerman. Dan seperti juga sejarah yang sudah-sudah, yang namanya kesalahan harus disingkirkan, meski itu berarti harus memberangus ribuan nyawa suatu bangsa.Dan keluarga Kovas adalah orang Yahudi. Sang ayah pun pergi lebih dulu ke kamp konsentrasi meninggalkan Kovas dan ibunya. Tak lama kemudian, karena situasi perang, sekolah pun diliburkan dan Kovas pun akhirnya dikirim juga ke kamp kerja paksa di Auschwitz. Dari satu kamp kerja paksa ke ke kamp kerja paksa lainnya. Dari Auschwitz ke Buchenwald lalu ke Zeitz. Dari penyiksaan ke penyiksaan, dari saringan maut ke saringan maut yang lain. ***Di tahun 1975 Imre Kertesz yang lahir di Budapest, Hongaria, pada 9 November 1929, menerbitkan novel pertamanya Sorstalansag (Fateless, 1992). Karena dalam tubuhnya mengalir darah Yahudi, dia pernah mengalami Auschwitz lalu ke Buchenwald, dan dibebaskan pada 1945. Bagaimanapun juga, Kertesz menyatakan bahwa dia menggunakan gaya novel autobiografis, tapi karya itu sendiri bukanlah autobiografi.Kelebihan novel dari sang peraih nobel 2002 ini adalah Imre Kertesz menuliskannya dengan kewajaran, hampir tanpa emosi dan pretensi, seperti mati rasa, dari sudut pandang orang pertama, sang Aku, yaitu George Kovas. Tapi meski begitu ceritanya mengalir lancar dengan liris. Nyaris dengan emosi datar meski yang diceritakannya itu suatu adegan ironi atau tragedi kemanusiaan paling mengerikan, mengenaskan dan menyedihkan. Kertesz mengungkapkannya dengan keluguan, kepolosan seperti tanpa pretensi. Termasuk rasa marah dan sedih. Rasanya hanya ada segelintir manusia langka yang punya kelebihan syaraf baja untuk bisa menulis seperti ini. Dan mungkin di situlah kelebihan novel ini. Seperti yang dituliskannya berikut ini: Aku kelaparan di pabrik bata, di kereta api, di Auschwitz, dan bahkan di Buchenwald, tapi aku belum pernah merasakan sensasi seperti itu dalam jangka waktu lama—perpisahan yang panjang, kata orang. Aku sudah menjadi lubang, sebentuk ruang yang kosong, dan segala upaya, segala usahaku, ditujukan untuk menutupi, mengisi, atau memuaskan lubang tanpa dasar ini. Aku memasang mata hanya untuk ini: akalku cuma bisa bekerja untuk ini, segala tindakanku hanya termotivasi oleh ini, dan jika aku tidak makan kayu, besi, atau batu, itu cuma karena alasan sederhana bahwa barang-barang itu tidak bisa dikunyah atau ditelan. Misalnya, aku pernah mencoba makan pasir, dan jika melihat rumput, aku tidak akan ragu sedikit pun. Sayangnya rumput sangat sulit ditemukan baik di pabrik maupun di kamp. (Hlm. 261)Pada akhir hari pertama ketika kau merasakan kerusakan yang tak bisa diperbaiki telah terjadi padaku, maka sejak saat itu aku yakin bahwa setiap pagi akan menjadi pagi terakhir aku terjaga, bahwa setiap langkah akan menjadi langkah terakhirku, bahwa setiap gerakan akan menjadi gerakan terakhirku. (Hlm. 273)Maka setelah beberapa lama aku juga menemukan kedamaian, ketenangan, dan kelegaan..dingin, basah, angin, dan hujan tidak lagi menggangguku. Segala cuaca itu tidak bisa mempengaruhiku. Aku tidak pernah merasakan keadaan itu. Bahkan rasa laparku menghilang; aku terus memakan apa pun yang bisa kutemukan, apa pun yang bisa dimakan, tapi aku melakukannya dengan perasaan hampa, secara mekanis, karena kebiasaan, kata orang. (Hlm. 274)Terjemahan yang bagus dengan gaya bahasa yang sederhana membuat novel ini enak dibaca dan dinikmati. Kita bisa merasakan kehampaan dan kewajaran itu dari kalimat-kalimat lirisnya.Dan ketika kita membaca novel ini pada halaman-halamannya yang paling mengenaskan, paling merisaukan, kita bisa bertanya dalam hati, apakah jiwa bisa mati? Apakah benar-benar ada manusia yang tanpa pretensi? Apakah ada manusia yang bisa menilai dan menyikapi sesuatu yang mengenaskan tanpa melibatkan perasaan? Atau dengan kata lain, apa yang lebih parah, mengerikan, sekaligus mengenaskan, daripada berteman akrab dengan kehampaan? Adakah yang lebih mengenaskan daripada berteman akrab dengan mati rasa? Kau hidup tapi sebenarnya sudah mati. Hampa, mati rasa, kata orang.Dari keadaan yang mengenaskan dan mengerikan itu akhirnya Kovas pun sampai pada suatu titik-balik di mana ia berkata dalam hatinya: Aku ingin sekali bisa hidup lebih lama di kamp konsentrasi yang indah ini (hlm 302)Dan setelah membaca novel ini mungkin kita bisa membayangkan: terkadang ada segaris keindahan dalam kesunyian kata-kata..(Pandasurya, Jkt, September 2009)
I think I was, oh, about fourteen when I first saw Schindler’s List, a movie that made such an impact on me that I followed it up by reading as much Holocaust literature as I could find, including the novel upon which the movie is based. To date I’ve read- aside from Keneally -Tadeusz Borowski’s This Way for the Gas, Ladies and Gentlemen, Primo Levis’ If This is a Man, Elie Wiesel’s Night, and Wielsaw Kielar’s Anus Mundi. The work that made the greatest impact on me, in simple emotional terms, was Andre Schwarz-Bart’s The Last of the Just, though the subject matter of this is more wide ranging than the Holocaust as such. Now I have just finished Fateless, a novel by Imre Kertész, the Hungarian Nobel laureate.It tells the story of fourteen-year-old Gyuri, a Hungarian Jew, who was arrested one day, in a sudden and Kafkaesque fashion, before being transported, first to Auschwitz, where he survives a selection, and then on to Buchenwald and Zeitz, a sub-camp of Buchenwald. Essentially it follows Kertész’s own experience, his own path. It follows by steps, small steps, the process of bewilderment, incomprehension, degradation and - oddly enough - acceptance. Gyuri’s destiny has been determined in part by fate and in part by freedom, if that makes any sense at all, freedom in the sense that things happen more by accident than design. In the end Gyuri survives. He cannot forget the past and begin anew, as he is urged by the few fiends he has left in Budapest, because, as he puts it, he cannot give orders to his memory. People, those who have never experienced the camps, are keen to talk about the ‘hell’ and the ‘horror’. But Gyuri, what does Gyuri feel? Why, a certain nostalgia;It was that particular hour, I recognised even now, even here-my favourite hour in the camp, and I was seized by a sharp, painful, futile longing for it: nostalgia and homesickness. Suddenly it sprang to life, it was all here and bubbling inside me, all its strange moods surprised me, its fragmentary memories set me trembling. Yes, in a certain sense, life there had been clearer and simpler. I suppose that it is possible to argue that most literature dealing with the experience of the camps is too translucent, in that the horror is perceived not by degrees but all at once in prefect apprehension. Not so with Fateless. It proceeds by slow, almost pedantic degrees and - apart from the gradual dehumanisation suffered by Gyuri and his compatriots - the horror is never that horrible. Indeed, rather surprisingly, the Germans hardly figure at all in the narrative, in a system that seems almost to be run by the inmates themselves. The book, and the movie upon which it is based, have been very well received. One only has to read the customer reviews on Amazon UK to get a small flavour. One even says that it ‘takes your breath away.’ What did I think? Did it take my breath away? Well, no, it did not. In the end I remained as detached and as unengaged as Gyuri himself. The prose is generally good, if a little opaque at points, though, of course, I can only comment on the English translation, not the original Hungarian. The piecemeal perspective is good, close to the fashion, I imagine, that most people, most individuals, would have experienced the whole process or, better said, the way of being processed. Kertész was there; he knows more about these things than I ever will. I can only comment of Fateless as a work of literature, and as a work of literature it left me cold.
Do You like book Fatelessness (2004)?
The holocaust and specifically the concentration camps is a topic that has been well covered in many films, books and different forms of art. This one differs from those with its detached, cold, matter of fact style. Even though the story is a firsthand experience, there is a very objective no-nonsense third person view which magnifies the effect of atrocities gone through. The contrast between the unreal circumstances and everyday needs and human pettiness is appalling;-The introspective observation of the writer about vanity of humans while waiting in line unsure whether they are going to the chambers,-The narrative of the flow of very everyday like actions, like "hobbling back to warm room and hopping into bed and chatting with neighbour" right after witnessing dead bodies being hauled in a cart..But as the writer confirms in the end, it is all about the steps, everyone took steps as long as he was able to. If the burden is hung around ones neck in one huge lump at the start, noone can take it, it is all about taking one step at a time..
—Cemil
Nobel prize-winner Imre Kertész survived stays in both the Auschwitz and Buchenwald concentration camps. While he was there, I have no doubt that he suffered a great deal—both physically and psychologically—so I was (understandably, I think) hesitant to dislike his semi-autobiographical Holocaust novel Fatelessness. It seems (at the very least) very inconsiderate of me to criticize his book for failing to 'entertain' me. Entertainment is a strange, nebulous word. Are we entertained (in whatever sense) when we watch The Sorrow and the Pity? How about when we read Elie Wiesel's Night? I would argue that, yes, we are. Admittedly this is an entertainment only dimly related to that (alleged) enjoyment afforded by a rerun of The King of Queens, but it is a diversion that intends to please its audience. Now don't only think of pleasing as giving an audience what it asks for, but also think of it as giving an audience what it didn't even know it wanted to begin with.When we think about the Holocaust, unless we are aberrant or sadistic, we are unlikely to be pleased by it, in and of itself, but when we read a text (in the postmodern sense of texts, including films and art, etc.) concerning the Holocaust, if it is well-done, we will be pleased by it. Why? Because it gives us insight into human experience (even of the horrific kind) or it helps us to understand our world in some small way (or, alternately, it helps us to experience what is incomprehensible about our world) or it offers a critique or diagnosis of the systems in our culture which enable things like Holocausts which may inform our future actions or behavior. And of course there are other possibilities of pleasures we might derive from unpleasant subjects—some certainly less honorable. It isn't without an acute awareness of how it sounds that I claim that Imre Kertész's Fatelessness didn't please me. It sounds terrible, doesn't it? As if I asked for the monkey to dance for me and it failed to dance? But don't confuse these pleasures with the baser forms. Fatelessness is unsuccessful because it has nothing much to say, but it manages nevertheless to say it at great length. It's little more than a neutered story of a boy spending time in concentration camps. There's no insight; there's no emotional weight; there's no humanity—besides which, stylistically speaking, the Wilkinson translation of Kertész is a mess. The sentences are long, dissected by countless clauses, phrases, and parenthetical asides, and often pointless. They accumulate detail but not purpose. Perhaps this is a commentary on life—an existential grammar—but if so, how trite. Our suffering is long and meaningless. At only 260 pages, this book feels long and meaningless itself. An efficacious art.
—David
Cierto que de novelas escritas por sobrevivientes del Holocausto hay bastantes y que todas son igual de necesarias, pero creo que no es menos cierto que algunas van mucho más allá del documento histórico y se convierten en literatura de altísimo nivel. Lo que primero sorprende de 'Sin destino' de Imre Kertész es que está narrada y protagonizada por un chico de 14 años. Su mirada es, por lo tanto, inocente, casi ingenua. Estremecedor es el momento en que él y sus compañeros llegan a Auschwitz, ven los presos, piensan que estos son criminales que han sido encarcelados por haber cometido un crimen, y ni sospechan que es el destino que a ellos les espera (si tienen la suerte de esquivar las cámaras de gas). También es inquietante, pero comprensible, la forma en que el narrador acepta lo que va ocurriendo, los hechos atroces, como si fuera lo más natural del mundo. “Es natural” repite, y también: “Es comprensible; en su lugar yo haría lo mismo”. El tono es desafectado, un punto distante en algunos momentos. Aún así, también hay espacio para describir la belleza y la bondad, lugar para la calma y la paz interior, e incluso el sentido del humor. Sí, es angustiante leer cómo el sufrimiento hace caer el protagonista en la desesperanza, hasta el punto que deja de importarle si vive o muere. Queda despojado de toda individualidad y todo deseo de seguir luchando. El instinto de supervivencia tiene un límite y él lo sobrepasa. Pero, luego, algo tan banal como el olor de la sopa que reparten, le hace revivir. En él último instante se da cuenta que no quiere morir, que quiere volver a probar sopa una vez más, y así día tras día, paso tras paso. Y a pesar de todo, Kertész quiere dejar claro que incluso en los campos de concentración se cuela la alegría por estar vivo. Es precioso cómo describe el momento en que los presos vuelven del trabajo y hasta que no es la hora de la cena, ya que es el momento en que todos se apresuran a hacer sus cosas, hablar con los otros y compartir lo que les ronda en la cabeza. También son de lo más bonitos y emotivos los momentos de camaradería entre los personajes y los gestos de bondad desinteresada que pueden tener unos con otros. Y es que 'Sin destino' es un libro muy duro, por supuesto, pero también es tierno y extrañamente optimista, un auténtico canto a la vida.
—Núria