About book My Father's Notebook: A Novel Of Iran (2007)
Ingatlah ketika pemuda-pemuda Kahfi itu berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa, “Ya, Tuhan kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu.”….Petikan beberapa ayat Surat Al-Kahfi membuka (juga menjadi penutup) “My Father’s Notebook”, sebuah novel Iran karya Kader Abdollah yang bercerita tentang seorang ayah bisu-tuli dan anak lelakinya. Sebuah kisah yang dituturkan dengan indah, bersetting tempat dan budaya Persia yang menawan, dan bergulir dengan jalinan latar dinamika sejarah modern Iran abad ke-20. Dikisahkan dengan gaya bertutur yang tenang, perlahan tapi pasti kisah kehidupan Aga Akbar yang bisu-tuli sejak lahir bergulir. Semasa hidupnya Aga Akbar menulis apa saja yang tak dapat diungkapkannya dalam sebuah buku catatan. Ia menulisnya dalam huruf paku kuno. Dikemudian hari, buku catatan ini sampai ke tangan Ismail, putera Aga Akbar, dalam bentuk paket misterius yang diterimanya saat di pengungsiannya di Belanda. Ismail kemudian berusaha menerjemahkan buku catatan rahasia itu dengan menelusuri kembali jejak masa lalu ayahnya. Mulai dari kampung halaman Aga Akbar di Desa Saffron, lalu Senejan, hingga masa-masa sulit setelah Ismail sendiri kuliah di Teheran dan menjadi aktivis gerakan partai sayap kiri yang diburu pemerintah, yang membuatnya harus meninggalkan ayahnya, juga keluarga dan bahkan tanah airnya. [Yang Aku Suka….:]Menyimak kisah Aga Akbar dalam buku ini memang menarik. Sebagai seorang bisu-tuli yang hanya dapat berkomunikasi lewat bahasa isyarat yang terbatas, Aga Akbar menjalani kehidupannya yang sederhana di desa pegunungan Saffron. Dunia dalam pikiran Aga Akbar karenanya adalah dunia yang sederhana. Dan Ismail, sebagai putera Aga Akbar sejak kecil telah menyadari bahwa ia ditakdirkan menjadi ”telinga sekaligus mulut” bagi ayahnya. Latar belakang emosi yang begitu kuat antara ayah-anak ini menjadikan jalinan adegan demi adegan kisah mereka menyentuh dan menyiratkan hubungan emosional kasih sayang yang tak tersurat. Bagaimana Ismail harus menjembatani ’gap’ antara dirinya dan ayahnya memunculkan daya tarik tersendiri, terlebih setelah nyata bahwa Ismail dewasa juga harus menjembatani gap ideologi dirinya yang menjadi atheis setelah bergabung menjadi aktivis partai komunis bawah tanah. Hal lain yang menarik dari buku ini ialah cara penulisnya dalam mempresentasikan dinamika perguliran kekuasaan politik pemerintahan Iran yang melatari novel ini. Secara gamblang, pembaca dapat menyimak potret Iran dilihat dari sudut pandang Ismail, yang menjadi aktivis partai sayap kiri penentang Shah. Namun, potret sejarah Iran yang disajikan melalui kacamata sederhana seorang Aga Akbar memberikan efek impresif tersendiri. Kader Abdollah dengan cerdas menggunakan penuturan simbolik atas peristiwa-peristiwa imbas dinamika politik yang terjadi di lingkungan desa sekitar Aga Akbar tinggal, dimana orang-orang desa ini mengamati tanpa menyadari apa yang ada dibaliknya. Ide melihat sesuatu yang rumit melalui mata polos pikiran yang sederhana kerap memunculkan kesan tersendiri. Orang-orang desa Saffron, misalnya, menyaksikan bagaimana ketenangan Gunung Saffron tiba-tiba mulai terusik dengan pembangunan jalur kereta api pertama yang melintasinya, tanpa menyadari bahwa itu adalah bagian proyek modernisasi ambisius Reza Shah. Atau, mereka kerap melihat orang menyelinap dalam kegelapan melalui semak-semak almond dan minta makanan dalam perjalanan menuju ke balik Gunung Saffron, tanpa mengerti benar artinya pelarian yang melarikan diri menuju perbatasan Uni Soviet. Mereka sering melihat sejumlah orang ditahan penjaga, dibelenggu, dan dibawa pergi dengan jip, tanpa tahu benar mengapa. Gambaran simbolik pergeseran sejarah Iran juga disinggung dengan cantik dalam cerita sekilas tentang para wanita di Saffron yang menghabiskan waktu menenun karpet (dikutip dari hlm 34-36). Diceritakan bahwa mereka merekam apa yang mereka lihat kedalam motif karpetnya. Suatu waktu mereka menenun burung-burung aneh dari Uni Soviet yang terbang ke desa mereka. Mereka juga menjadikan relief huruf-huruf kuno di gua Gunung Saffron yang terkenal sebagai motif, kadang polanya juga menggambarkan orang asing naik bagal menuju gua sambil memegang kertas bertuliskan huruf-huruf kuno. Lalu pada akhir 1930-an mereka tiba-tiba menenun pola yang berbeda: gambar kereta api yang bergerak menaiki Gunung Saffron. Lalu yang terkini karpet yang mereka tenun berpola pesawat pengebom yang terbang di atas desa, sambil menjatuhkan barang bawaannya yang mematikan.Dapat saya simpulkan, daya tarik novel ini mengemuka tak hanya dari muatan kisahnya semata, melainkan juga dari unsur sejarah dan budaya Persia yang melatarinya. Seiring kisah Aga Akbar yang dituturkan dengan alur melompat-lompat itu kita dapat menyimak latar sejarah perebutan kekuasaan Iran antara Shah, partai komunis, dan para mullah hingga periode masa revolusi Iran. Kita juga sekaligus menyimak latar budaya Persia yang terkenal dengan Syair-syairnya, karpet Persia-nya, cerita rakyatnya, beserta budaya tradisi Islam Syi’ah-nya yang kental. Di sepanjang buku ini bertaburan syair-syair yang berasal dari lagu Persia maupun puisi-puisi karya penyair Persia dan Belanda. Diperkaya dengan folklore tentang Sang Mahdi, yang diyakini kaum Syiah sebagai imam ke-12 setelah Nabi Muhammad, novel ini menyajikan perpaduan mitos tradisional yang bertemu dengan realitas kontemporer Iran.[Bagian Kuciwanya...:]Sayangnya, novel ini hanya menceritakan tentang isi catatan Aga Akbar yang berusaha diterjemahkan oleh Ismail, sementara ’bagaimana’ Ismail dapat menerjemahkan huruf-huruf paku kuno dalam catatan itu sendiri tidak diceritakan Padahal kisah awal Aga Akbar menulis dengan huruf-huruf paku yang ia pelajari dari relief kuno Gua Saffron berumur 3000 tahun itu telah memunculkan ekspektasi saya sebagai seorang pembaca untuk menyimak bagaimana nantinya Ismail dapat memecahkan kode huruf-huruf kuno tersebut. Terlebih kisah tentang gua itu memang memikat, serta dijadikan simbol yang cukup kuat di buku ini, yang dibuka dan ditutup dengan ayat Al-Qur’an tentang kisah Ashabul Kahfi.------------------------------- t[NB: Tentang begitu kentalnya budaya Syair Persia, saya sempat heran ketika membaca tentang kelahiran Ismail. Ketika ibu Ismail hendak melahirkan, Kazhem Khan, paman Aga Akbar yang seorang penyair begitu yakin akan berpesta sebab telah membaca Al-Qur’an (QS Maryam). Akan tetapi ketika bayi lahir, kalimat pertama yang harus sampai ke otak bayi bukanlah kata yang diucapkan dukun bayi atau jerit girang bibinya, bukan pula kata-kata sehari-hari dari mulut tetangga, melainkan haruslah berupa... puisi. Puisi melodius kuno, sebaris puisi karya Hafiz, dedengkot penyair Persia zaman pertengahan. Kirain kalimat adzan, hehe... :P].
Non saprei da dove cominciare per commentare la meravigliosa e affascinate storia narrata in queste pagine. Mi rendo conto quanto sia difficile per me, cercare di spiegare in poche righe , un mondo e una storia lontane da me, eppure vicine nell'amore e ne dolore trasmesso, che mi colpisce in quanto figlia. Infatti Il rapporto tra un padre un figlio è un legame così unico, così particolare che tutto il resto ne è escluso ,e anche il dolore, i sacrifici che ne provengono sono intensi e difficili da capire pienamente. Attraverso una scrittura semplice, pacata ma poetica, Kader Abdolah ci fa immergere proprio in questa storia tra un padre, riparatore di tappeti e un figlio rivoluzionario dell’Iran, nel suo passaggio di poteri tra lo scià di Persia e il “regime religioso” di Khomeini. Tutto intorno a loro è immerso nella tradizione, nelle credenze popolari e religiose, nelle superstizioni, nella cultura affascinante che converge nelle donne che annodando tappeti, ricamandoci i loro sogni di libertà; nella grotta che riporta un’antica scrittura cuneiforme che nessun studioso nel corso dei secoli è riuscito e decifrare.;o all'interno di un pozzo dove si crede, sia rifugiato da secoli l’ultimo discendente di Maometto. In mezzo loro, AKbar e il figlio Ismail, nato per aiutare il padre sordomuto. Il loro legame è così forte che si comprendono anche solo con gli sguardi o con il corpo, tra loro non c’è bisogno di parole, basta ammirare le stelle insieme per sentirsi legati ad unico universo. Solo Ismail riesce ad entrare nel mondo ovattato di suo padre. Naturale dunque che nel momento in cui un legame del genere è spezzato –come il filo di lana che serve per riparare un tappeto- si crei il vuoto , una mancanza. Così che quel padre che per tutta la sua lunga esistenza si è chiuso nel proprio silenzio, lasciando che la vita scorresse placida intorno a lui, ora agisce e ora parla ,anzi griderà disperato un nome. Il suo sacrificio non rimarrà vano, ma anzi segnerà un inizio pieno di speranza per i suoi figli simbolo delle generazioni future.La perdita è un’esperienza che porta ad una strada nuova. Una nuova occasione per pensare in modo diverso. Perdere non è la fine di tutto, ma la fine di un certo modo di pensare. Chi cade in un punto, in un altro si rialza. Questa è la legge della vita
Do You like book My Father's Notebook: A Novel Of Iran (2007)?
Bellissimo libro; letto dopo “la casa della moschea” che mi ha fatto scoprire Kader Abdolah e che mi confermato la bravura di questo scrittore. Il libro narra le vicende di una famiglia iraniana attraverso la storia della Persia (e poi Iran) degli ultimi cinquanta anni, attraverso il rapporto fra il padre,analfabeta e sordomuto, ed il figlio, alter ego dello scrittore, che del padre e’ “la bocca e le orecchie”. E’ un romanzo in cui le storie si snodano dai tempi dello scià alla rivoluzione islamica , ma la cronaca e’ immersa in una narrazione incalzante, da novella epica. I temi dell'esilio, della lotta clandestina per la libertà, il valore della tradizione di un paese magico e tragico allo stesso tempo fanno da cornice al tema piu’ profondo del libro: l’ amore ed il legame strettissimo fra padre e figlio, cosi diversi (analfabeta tessitore di tappeti l’uno, intellettuale universitario combattente clandestino contro le dittature l’altro) ma cosi uniti.
—Mara
The novel presents a very inspiring and beautiful tale of a Deaf man's journey during his country's (Iran) transformation into modern nation. Although very beautiful, it also shows the similarities of how the pre-modern Iran, like the rest of the world, view the Deaf. They share the same angle -- being "deaf" is a disability. The word "deaf-mute" is used many times in the novel, referred to Aga Akbar as person who cannot speak or even hear. But the perspective is absolutely wrong! Aga is not a "deaf-mute," because he has voice! The word "mute" refers to the absence of sound, but Aga can make sound. In spite of being unable to speak properly or clearly, he has a voice. He's not a mute! He is "deaf" or "Deaf." The two mentioned words may be used depends on what the context is. Lower case "d" refers to being unable to hear sounds, while the capitalized "D" refers to people with their own language and culture (e.g. capitalized "I" for Iranians, "F" for Filipinos, etc.). But for me, Aga is "Deaf" because he has own language and culture and despite the fact that he can't hear, he has unique talents and obviously not a disabled -- but as a normal individual.
—Michael
Spijkerschrift van Kader Abdolah. Iedereen was zo enthousiast over dit boek op deze site, dat ik het boek wel eens wilde lezen. Dit is het eerst boek, wat ik van deze schrijver gelezen heb en het smaakt naar meer.Aga Akbar is de vader van Ismaiel. Hij heeft nog meer kinderen, maar Ismaiel ontfermt zich het meest over hem, omdat hij de oudste is en zijn vader doofstom is. Ismaiel moet de gebarentaal van zijn vader altijd vertalen in gewone taal. Zo zijn ze meer met elkaar verbonden dan anders het geval zou zijn. Aga Akbar is opgevoed door zijn oudoom, Kazem Gan, nadat zijn moeder overleed toen hij tien jaar oud was. Zijn vader was een edelman, maar hij mocht nooit zijn erfrecht claimen, omdat zijn moeder een soort bijvrouw was. Dichtbij de Safraanberg, waar zij woonden, is een historische grot, waar een tekst op de wand te vinden is in spijkerschrift, die nog nooit ontcijferd is. Kazem Gan laat Aga de tekst overschrijven. Kazem heeft in de gaten dat Aga vaak hoofdpijn heeft. Hij denkt, dat Aga allerlei verhalen in z’n hoofd heeft die hij kwijt moet. Zo kan Aga ook zijn gedachten opschrijven.Als Ismaiel naar Nederland gevlucht is, krijgt hij het boek van zijn vader toegestuurd als deze overleden is. Hij wil het verhaal van zijn vader schrijven in de Nederlandse taal. Hij moet het spijkerschrift van zijn vader vertalen naar gewone taal om zijn verhalen met ons te kunnen delen. Het eerste deel bestaat uit het verhaal van zijn vader, en zijn leven in de bergen, vlak bij de Russische grens. In een ander deel beschrijft Ismaiel zijn eigen leven in Nederland. Hij haalt ook herinneringen op aan zijn studententijd in Teheran en waarom hij moest vluchten naar Nederland.In Spijkerschrift is veel autobiografisch. Kader Abdolah is het pseudoniem van Hossein Sadjadi Ghaemmaghami. Deze naam gebruikte hij als eerbetoon aan een paar vrienden, die door de overheid geëxecuteerd waren, Kader tijdens het bewind van de sjah en Abdolah onder Khomeini. Hij studeerde natuurkunde aan de universiteit van Teheran, net als Ismaiel. Hij sloot zich aan bij een linkse partij en verzette zich tegen het bewind van de sjah en later tegen de ayatollahs. Nadat hij gevlucht was, kwam hij na omzwervingen terecht in Nederland. Daar wilde hij de Nederlandse taal leren. Dat deed hij aan de hand van kinderboeken, zoals Ot en Sien en gedichtenbundels. Hij heeft ook nog een jaar aan de universiteit Nederlandse literatuur gevolgd. Het verhaal van zijn vader is ook zijn geschiedenis.Kader Abdolah gebruikt in zijn roman Spijkerschrift veel citaten uit de Perzische literatuur. Echter hij citeert ook enkele Nederlandse dichters en schrijvers, wat knap is van een buitenlandse schrijver in Nederland. Spijkerschrift is een mooie psychologische roman geworden, waardoor je veel inzicht krijgt in het leven in Iran.
—Ingrid Verschelling